Selasa, 22 Desember 2015

TAGGED UNDER:

…dan “Gong Sekati” pun Ditabuh



CIREBON (CT) – Gamelan tradisional Cirebon digelar, secara rutin dari tanggal 5 hingga 12 Rabiulawal. Musik yang hanya digelar setahun sekali ini dikenal dengan nama “gong sekati” satu rentetan musik yang terdiri dari gamelan Jawa (Cirebon) yang hanya ada di Keraton Kanoman.

“Gong Sekati” merupakan ucapan lidah lokal Cirebon yang berarti gong syahadatain. Istilah sekaten juga ada di Keraton Yogya dan Surakarta yang digelar pada saat grebeg mulud. Lagunya sederhana ”Bango Butak” yang mirip iringan gamelan renteng penyambut tamu agung. Di Sitiinggil Kanoman,gamelan yang konon merupakan warisan Sunan Kalijaga itu mulai ditabuh pada Kamis (17/12) siang.

Kisah dari mulut ke mulut menyebutkan, gamelan inilah yang konon mampu membuat masyarakat Cirebon pra-islam tergetar hatinya saat mendengarkan irama lagu tersebut. Pada saat gong dibunyikan, maka atas anjuran Sunan Kalijaga untuk membaca dua kalimat syahadat. Saat itulah istilah syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat diucapkan menjadi sekati. Terkenallah kemudian nama ”gong sekati.”

Abad ke-14 dan 15 dianggap Cirebon sebagai abad pencerahan, karena dua abad tersebut terjadi perubahan keyakinan secara besar-besaran. Dari anutan agama Hindu, Budha dan keperyaan lokal lainnya yang ada beralih kepada ajaran baru saat itu, yakni Islam.

Momen ini yang kemudian menjadi tonggak perubahan dalam segala tatanan, baik dari keyakinan hingga produk kebudayaan termasuk seni musik, tari, rupa dan vocal. Gamelan atau tabuhan yang digunakan para Sunan itu pun kemudian dijadikan induk dan berkembang menjadi berbagai seni pertunjukkan, baik musik, vocal maupun sastra. Gamelan sekaten dianggap masyarakat Cirebon sebagai gamelan induk yang menjadi patokan ritme bagi gamelan-gamelan lainnya.

Pada seni musik, gamelan sekaten memberikan ilham terhadap seniman saat itu untuk membangun sebuah gamelan pengiring penerima tamu agung. Gamelan itu dikenal sebagai ”gamelan renteng.” Catatan Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Cirebon (1992/1993) menyebutkan, gamelan ini pemberian dari Mataram untuk Cirebon, dibawa Ki Ageng Gamel Syekh Windu Aji pada masa Sunan Gunung Jati. Gamelan renteng disebut juga ”gamelan dawa”. Berasal dari dakwah, yang berarti gamelan tersebut sebagai alat dakwah.

Pada masa berikutnya, gamelan renteng merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan pergelaran jaran lumping. Jaran lumping dalam khasanah kesenian Cirebon berbeda dengan jaran kepang yang biasa dimainkan pada masa kini. ”Jaran lumping” hanya membawakan tarian saja tanpa mempertunjukkan atraksi makan beling, rumput dan atraksi lainnya.

Antara tabuhan renteng dan jaran lumping merupakan satu kesatuan yang terbangun antara ”tuan dan hamba” (kawula – gusti). Gamelan renteng yang dianggap sebagai karawitan keraton menyatu dengan jaran lumping yang merupakan kesenian rakyat. Seperti pada musik tradisi Jawa Tengah (Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, 2002) secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni musik tradisi keraton dan musik tradisi rakyat.

Gamelan tradisi Cirebon pun nampaknya tak berbeda dengan musik-musik tradisi lainnya di Jawa. Karena memang Jawa merupakan pusat kebudayaan yang mampu memberikan pengaruh terhadap musik-musik tradisi lainnya. Pada gamelan sekati misalnya, gamelan ini dianggap sebagai hak paten keraton, baik Kanoman maupun Kasepuhan. Sedangkan gamelan renteng dan jaran lumpingnya merupakan musik dan tarian tradisi yang dipelihara rakyat. (NMN)***

About Jasa Buat Website
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. A die shopuf pogest concludi cum administrasset slushie intus calidum brioche.
Follow me @Bloggertheme9
Subscribe to this Blog via Email :

0 komentar:

© 2014 Media Cakrawala. Designed by Bloggertheme9
Powered by Blogger.
back to top